Senin, 14 Februari 2011

Permasalahan Kesehatan Mental di Indonesia


Data global menunjukkan bahwa 25% populasi umum mengalami gangguan kesehatan jiwa, 40% diantaranya misdiagnosis sehingga mengakibatkan banyaknya pengeluaran biaya untuk pemeriksaan dan penanganan yang sebenarnya tidak diperlukan. Prevalensi gangguan mental dan tingkah laku pada orang dewasa sebesar 10%. 24% orang yang datang ke dokter puskesmas menderita gangguan kesehatan jiwa, 69% di antaranya datang dengan keluhan fisik tetapi tidak ada bukti adanya gangguan fisik.

Meningkatnya prevalensi gangguan kesehatan mental terkait dengan adanya transformasi dan transisi yang ada. Transformasi dan transisi di dunia menyebabkan :
1.      Perubahan pola hidup, sikap dan norma-norma.
2.      Di sektor kesehatan, transisi epidemiologi penyakit infeksi menjadi non infeksi dan gangguan terkait tingkah laku serta  gangguan mental.

Status kesehatan mental komunitas di ukur dengan HDI (Human Development Index) dari UNDP (United Nation Development Program).

Masalah kesehatan jiwa menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi individu itu sendiri, keluarga, komunitas dan negaranya karena orang dengan gangguan jiwa menjadi tidak produktif dan cenderung bergantung pada orang lain.

Beban hidup karena gangguan mental diukur dengan DALY (Disability Adjusted Life Years). Pada tahun 2000 angka tersebut mencapai 12,3% lebih tinggi dari beban hidup yang harus ditanggung karena penyakit jantung iskemik, CVD, dan tuberkulosis.

Masalah kesehatan mental dapat menyebabkan masalah sosial, seperti kekerasan, kriminalitas, bunuh diri, pembunuhan, child abuse, perceraian, kejahatan anak, penyalahgunaan obat-obatan, HIV/AIDS, perjudian, pengangguran, dll. Hal tersebut membutuhkan penanganan dan perhatian khusus.

Pemahaman masyarakat terhadap gangguan mental :
1.      Psikotik atau gangguan mental mayor sudah memiliki stigma tersendiri.
2.      Gangguan mental minor seperti kecemasan, depresi atau gangguan mental dengan keluhan fisik sering tidak disadari sebagai gangguan mental, ketika dokter hanya fokus pada keluhan fisik saja maka akan terjadi pemeriksaan dan pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Masih banyak dokter yang tidak memperhatikan bahwa latar belakang permasalahan kesehatan pasiennya ialah gangguan mental, sehingga hal ini akan mengakibatkan penanganan yang diberikan tidak efektif.

Kebijakan pelayanan kesehatan mental :
Tujuan umum => peduli masalah kesehatan mental pada pasien yang datang ke pelayanan kesehatan primer.
Tujuan khusus => deteksi awal, memperlakukan kasus kesehatan mental sesuai kompetensi penyedia pelayanan kesehatan lokal, jika perlu rujuk sesegera mungkin.

National Mental Health System harus terintegrasi di pusat pelayanan kesehatan primer, pelayanannya harus mencakup masyarakat di area terpencil dan dilakukan sebaik mungkin.

Sejauh ini,  pelayanan kesehatan mental belum mencakup semua lapisan masyarakat karena :
·        Kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya kesehatan mental
·        Stigma => orang yang sakit secara mental dibawa ke dukun dll
·        Mereka yang di daerahnya belum terdapat mental hospital harus mengeluarkan banyak waktu dan biaya untuk memperoleh pelayan terdekat
·        Kebijakan desentralisasi menyebabkan kualitas pelayanan kesehatan mental berbeda-beda di setiap wilayah atau daerah

Rekomendasi WHO :  WHO menganjurkan kepada negara-negara dengan sumber daya rendah untuk mengintegrasikan pelayanan kesehatan mental di pelayanan kesehatan umum di puskesmas-puskesmas yang sudah tersedia di daerah-daerah terpencil.
Keuntungan sistem ini ialah :
·        Membantu mengatasi masalah tidak mencukupinya sumber daya kesehatan mental
·        Deteksi awal adanya gangguan mental dengan keluhan fisik
·        Menurunkan stigma sehingga bisa lebih diterima di masyarakat
·        Dapat diakses, low cost, dan pasien bisa lebih dikenal oleh dokternya di pusat pelayanan lokal
·        Kesempatan besar untuk melibatkan komunitas di program ini
·        Tanggung jawab ada di pemerintah lokal
Sejarah perkembangan pelayanan kesehatan mental di Indonesia
Pelayanan kesehatan mental di puskesmas dan RS umum (tipe C&D) dimulai tahun 1980. Psikiatri yang ada berasal dari RS jiwa terdekat. Tetapi fasilitas ini hanya mencakup wilayah sekitar situ dan hanya beroperasi sekali dalam 1 atau 2 minggu. Dan ini baru ada di beberapa provinsi.

Sejak 1991, ada pelatihan mental health untuk deteksi awal dan penanganan yang sederhana bagi dokter dan perawat di puskesmas dan RS umum yang jauh dari mental hospital. Namun, masalahnya ini hanya kerja sama dengan dinas kesehatan pusat di provinsi, tidak dengan dinas kesehatan kabupaten, jadi ada hambatan dalam pengadaan obat psikotropika serta dijumpai adanya masalah-masalah administrasi.
Dengan sistem ini yang tercover <1%, alasannya ialah :
-  Tidak semua tenaga kesehatan mempunyai kesempatan untuk training
-  Gagal melanjutkan program karena mobilitas dokternya tinggi
- Penegakan diagnosis lebih banyak didiagnosis sebagai penyakit fisik daripada gangguan mental, padahal belum tentu.

Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah membuat kebijakan :
Pelatihan ini harus tetap dilanjutkan. Materi yang diberikan fokus pada gangguan fisik dengan latar belakang adanya gangguan mental.
Metode yang dapat dilakukan ialah pelayanan mental health harus ada di puskesmas, semua pekerja kesehatan ( dokter, perawat, bidan atau penyedia pelayanan kesehatan lain) bisa menangani dengan saling berintegrasi sesuai dengan kompetensinya. Kantor kesehatan kabupaten harus memberi pelatihan ke SDM di puskesmas, materinya meliputi deteksi awal, penanganan yang tepat, konseling dasar sebagai prioritas utama dan pengobatan psikotropika jika perlu, mental health provider dari RS jiwa (psikiatri, perawatnya, dan psikolog) hanya sebagai konsultan dan mensupervisi program dengan teratur, untuk kasus-kasus yang sulit segera dirujuk ke RS jiwa terdekat.


Referensi :
Materi kuliah mengenai “Mental Health System” yang disampaikan oleh dr. Mahar

2 komentar:

Unknown mengatakan...

maaf mau tanya referensinya bisa didapatkan dimana yah? terima kasih

Reynaldi mengatakan...

Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.

Posting Komentar